Jakarta (ANTARA News) – Redenominasi perlu segera dilakukan agar nilai tukar rupiah yang telah terdepresiasi selama ini bisa lebih kuat, kata pengamat ekonomi dari The Indonesia Economic Intelligence (IEI) Sunarsip.
“Kebijakan redenominasi itu perlu juga diambil karena nilai tukar kita sudah banyak turun akibat devaluasi sejak zaman orde lama dan orde baru, ” katanya di Jakarta, Minggu.
Pada sekitar tahun 1990-an nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih sekitar Rp1.500,00-Rp2.000,00 per dolar AS. Saat ini, nilai tukar rupiah bergerak di sekitar Rp9.000,00 per dolar AS.
Ia menuturkan tren pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS lebih banyak turun daripada naik. “Trennya turun terus, jarang sekali turun 10 poin lalu naiknya 15 poin, malah naik hanya 5 poin. Dalam 12 tahun terakhir itu yang terjadi, rupiah terdepresiasi,” katanya menegaskan.
Lemahnya nilai tukar rupiah tersebut, lanjut dia, sering kali spekulator memanfaatkan untuk melakukan transaksi “carry trade”, yaitu memanfaatkan selisih nilai mata uang antara valuta asing (valas) dengan rupiah untuk mengambil keuntungan dari transaksi perdagangan valas.
“Saya pikir sudah saatnya, kalau dibilang masih wacana itu salah, sosialisasi harus dimulai dari sekarang agar lima tahun lagi sudah bisa diimplementasi. Rupiah akan lebih punya harga, toh di sisi riilnya tidak ada pengaruhnya,” ujarnya.
Mantan Menteri Negara badan Usaha Milik Negara (BUMN) Sugiharto yang menjabat sebagai Ketua Dewan Pengarah IEI mengatakan saat ini merupakan momentum yang tepat untuk melakukan redenominasi.
“Kenapa momentumnya bagus karena pergerakan nilai tukar rupiah relatif stabil meski ada gejolak ekonomi dunia. Tapi memang perlu sosialisasi yang intensif. Kalau tidak sekarang kapan lagi?” ujarnya.
Sugiharto memperkirakan sosialisasi dan latihan penggunaan rupiah baru cukup dilakukan dalam dua hingga tiga tahun agar dalam lima tahun ke depan redenominasi bisa terlaksana secara penuh.(*)
TERSEDIA JUGA :